Sawahlunto. Mendengar nama kota yang satu ini, terlintas di benak saya akan tiga hal. Tiga hal itu adalah kota tua, kota kereta, dan kota tambang. Pencitraan kota ini begitu kuat akan tiga hal tersebut. Sudah banyak cerita tentang Sawahlunto yang kesemuanya akan dapat disederhanakan menjadi hal itu. Kota ini menjadi unik dan memiliki daya tarik tersendiri karena hanyalah kota ini saja yang menyajikan ketiga macam wisata ini dalam satu paket.
Di sana, nuansa jaman dahulu dengan bangunan-bangunan era kolonial Belanda masih dapat dilihat. Bahkan sepertinya tetap dijaga orisinalitasnya, tidak dipugar disesuaikan dengan gaya masa kini. Walaupun tentu bangunan itu tampak rapuh dengan sudah sedemikian tuanya. Beberapa dari gedung itu masih digunakan dan sudah diperbaiki bagian-bagian yang sudah lapuk dimakan jaman, tetapi tetap kesan kota tua Sawahlunto ini masih begitu kental terasa. Menyusuri jalanan pusat kota yang dipenuhi bangunan jaman dahulu semacam ini seakan terbawa oleh mesin pemutar waktu kembali ke masa-masa di mana bangunan ini dulu berjaya.
Mengenai kesannya sebagai kota kereta, Sawahlunto terkenal dengan museum kereta. Di sini, akan disajikan sejarah dan informasi mengenai perkembangan perkeretaapian dari sejak jaman awal mulanya hingga keadaan sekarang. Tidak hanya tentang pengetahuan yang diberikan oleh museum ini, pengunjung juga diberikan kesempatan untuk merasakan perjalanan berkereta api. Museum Kereta Api Sawahlunto, yang masih berfungsi sebagai stasiun kereta, juga menyediakan perjalanan jarak pendek menuju salah satu ikon wisata terkenal di Sumatera Barat, yaitu Danau Singkarak. Dengan jalur kereta yang akan menyusuri pinggir Danau Singkarak, pengunjung diberikan suguhan pemandangan kecantikan alam Ranah Minang.
Berbicara mengenai Sawahlunto, hal yang tidak dapat dilepas untuk dibahas adalah tentang penambangan di sana. Kota ini dari dulu sudah dikenal sebagai pemasok mineral kekayaan alam semacam batubara, emas, dan bahan galian lainnya. Walau sudah tidak seintens jaman dahulu, proses penambangan masih dilakukan di kota ini. Bahkan salah satu kantor pusat penambangan, PT Bukit Asam Tbk, masih beroperasi di Sawahlunto. Sejarah dari awal mula penambangan dilakukan di kota ini juga tersimpan terawat dengan baik pada Museum Goedang Ransoem yang dulunya adalah tempat penyiapan makanan bagi para penambang. Ada juga Lubang Mbah Suro sebagai bukti nyata betapa kerasnya kerja rodi penambangan di jaman kolonial dahulu kala.
Jika dirunut tiga hal tentang Sawahlunto yang saya lontarkan ini, kesemuanya akan menuju pada tema umum yaitu mengenai kuatnya sejarah melekat pada kota ini. Kesan kota tuanya muncul karena sejarah bangunan-bangunan dari jaman dulu yang dipelihara hingga sekarang. Kesan kota keretanya muncul karena ada museum yang setia menjaga arsip sejarah perkeretaapian di sana. Kesan kota tambangnya muncul karena kota ini hidup dan berkembang dari penambangan bahan galian dari penduduknya di jaman dulu dan jejak-jejak sejarahnya masih tampak jelas di jaman sekarang.
Sebenarnya masih ada banyak hal istimewa lainnya yang bisa ditelusuri dari kota Sawahlunto ini. Namun, tetap kesan sejarah yang kuat dari kota ini dengan tiga hal tersebutlah yang menjadi kesan membekas bagi saya saat berkunjung di sana. Kota yang relatif kecil ini memang berbeda dan punya ciri khasnya sendiri daripada kota wisata lainnya di Ranah Minang. Tidak sia-sia perjalanan yang saya tempuh sekitar 6 jam dari Painan untuk menuju kota yang satu ini. Unsur sejarahnya memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi saya sekaligus sebagai penyegar suasana dengan kesan jaman dahulunya yang istimewa.
kemaren waktu ke solok nggak ke sawah lunto…. kejauhan 😀
Dinasnya cuman sebentar aja ya mas? Kalau ndak salah deket kok mas.. Eh relatif juga sih.. 1s.d. 2 jam perjalanan kalau ndak salah
itu kan dari padang yah? kalau dari solok? lebih jauh lagi kan?
jadi rutenya harus lewat Solok kalau ke Sawahlunto… Padang – Solok sekitar 2 jam lanjut Solok – Sawahlunto sekitar 1 jam aja kok…
jadi ndak perlu balik ke Padang dulu malah, nerusin aja perjalanan ke arah timur…
Ooooo….. Kemarin milih jalur ke singkarak – bukittinggi – padang 😀
Solok – sawah lunto sekitar 40 menit aja… ngga nyampe 1 jam. Kalo naik angkutan umum paling 1 jam deh
Ya begitulah.. Saya kan pengembara kendaraan umum kok, mbak.. Pengguna jasa malindo *eh nyebut merek
Samaa… pengguna angkutan umum juga… Makanya jd apal jalanan jakarta hehe *salah pokus 🙂
salah satu cara bikin apal daerah itu ya pake kendaraan umum *walau sering gak nyamannya
sepakat juga mbak 😀
berasa kayak Hollywood itu fotonya 😀
Keknya emang niatnya gitu, mbak Enje.. Mau bikin “S”ollywood kali ya hehehe..
tulisan selanjutnya ttg solok dong nas,..he….
wah Solok ngepas belum kebagian untuk dijelajahi nih… baru mampir ke KPPNe thok ik, mbak… durung sempet mlaku2 😀